English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified twitterfacebookgoogle plusrss feedemail

Korupsi jangan dijadikan budaya! Pilih pemimpin yang cinta rakyat, bukan cinta kekuasaan! Bagian Iklan Hubungi (021)27101381 - 081385386583


Informasi berita tentang wisata kuliner di seluruh Indonesia - Kontak Redaksi: (021)271.01.381 - (021)606.36235, Hotline: 08787.882.1248 - 081.385.386.583

Rabu, 08 Desember 2010

Mi Lethek Khas Bantul, Seni Kuliner yang Nyaris Punah

Mie Lethek Goreng ala Waroeng Rest-OE
Selama ini yang namanya makanan tradisional identik dengan kepunahan. Bila ada yang bisa bertahan pastilah karena kecintaan para penggemarnya atau pembuatnya yang masih bertahan menjual warisan budaya kuliner tersebut. Salah satunya adalah mi (atau mie) lethek dan sayur besan.



Gerobak Mie Djowo waroeng rest-OE
Dua makanan tradisional ini nyaris punah dan sulit ditemui sekalipun di daerah asalnya. Ternyata tidak. Mie Lethek jadi mulai populer di bilangan kota Jakarta. Di waroeng rest-OE Kalimalang yang bekerja sama dengan Waroenge Dhewe Pulogebang Cakung mengangkat makanan tradisional khas Bantul ini sebagai sajian utama di rumah makan mereka masing-masing.

Dengan konsep berbeda, yang satunya warung kaki lima, sementara yang lainnya, waroeng rest-OE bergaya rumah makan bernuansa modern tapi mempunyai kualitas sajian yang sama. Sidik punya selidik ternyata memang bersumber dari bahan baku dan bumbu rempah serta koki yang sama. Bila Waroenge Dhewe dikelola langsung oleh Mbok De Mul sebaai sang koki, maka di waroeng rest-OE dimasak sajiannya oleh karyawan-karyawan binaan Mbok De Mul langsung. Antara pemilik warung makan Waroenge Dhewe dengan waroeng rest-OE memang ada kerjasama kedua belah pihak yang saling menguntungkan.

Terlepas dari itu, ibu Restu Abadi sang pemilik waroeng rest-OE berusaha menyajikan mie lethek yang kualitasnya mirip dengan aslinya dari Bantul. Itulah sebabnya semua sajiannya diambil langsung dari Bantul dan Jogja melalui Waroenge Dhewe milik Mbok De Mul.

Bicara tentang makanan yang nyaris punah ini, kulinerkuliner.com mencoba menelusuri mi lethek di internet dan hasilnya adalah adanya beberapa pedagang mie (atau mi) lethek yang mengikuti pameran kuliner di Jakarta. Salah satunya yang berhasil diwawancarai adalah Nurul, menurut dia mi lethek sering ikut pameran kuliner di berbagai kota di antaranya di Jakarta. "Saat pameran di Jakarta, pembeli mi ini cukup banyak dari kalangan anak muda hingga orang tua," katanya.

Mie Lethek Rebus
Ia mengatakan disebut mi lethek karena warnanya kusam dan kurang menarik. Warna mi lethek tidak seperti mi pada umumnya, karena dibuat dengan bahan baku yang berbeda dengan mi umumnya.

"'Lethek merupakan bahasa Jawa yang artinya kusam, kotor, dan kurang menarik," katanya. Bahan baku untuk membuat mi lethek berupa tepung tapioka yang diolah secara manual, dan tidak menggunakan pewarna kimia serta zat pengawet.

Mie Lethek Goreng
Menurut dia, rasa mi ini juga khas, berbeda dengan rasa mi pada umumnya. "Hanya dibuat dengan rasa pedas berupa mie goreng, dan dilengkapi sambal goreng," katanya. Cara penyajiannya, kata Mbok De Mul (sang pemilik), masih tradisional dan sederhana. "Ketika dimakan, mi ini kenyal, dan ukuran mi sedikit lebih besar dibandingkan dengan mi pada umumnya," katanya.

Selama mengikuti pameran, menurut dia beberapa pengunjung ingin belajar cara membuat dan memasak mi ini. Ia menyebutkan harga mi lethek Rp 5.000 per porsi. "Selama pameran ini terjual rata-rata 100 porsi per hari," katanya.

Sidik Rizal - sumber: Antara

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

pakar kuliner

bukan kuliner

HotelSenterPoin.com

Kuliner Bekasi

Kuliner-Kuliner

ProfilUsaha.com

Program Wisata Kuliner TV Tak Mendidik?

Memang menarik… menggiurkan… dan menggugah selera. Sering menyimak tayangannya, saya jadi punya analisis, pada dasarnya tayangan wisata kuliner di mungkin semua stasiun TV kurang mendidik, apa pasal? Betapa selera makan kita “dipermainkan” ketika kita melihat tayangan wisata kuliner di televisi. Kita jadi “kemecer” (air liur menetes karena selera makan kita dibangkitkan). Melihat langsung cara pengolahannya, cara makan yang sangat bernafsu serta ditambah komentar host yang seolah-olah makanan itu sangatlah menggiurkan…..Cukup itukah yang kita harapkan bersama?? [Read More...]